Hampir 66 tahun yang lalu negeri naruto dihajar sampai hampir pingsan (walau gak sampai the end) oleh negeri the simpsons dengan 2 buah bom atom panggang yang mendarat empuk di Nagasaki dan Hiroshima. Empuk memang, tapi justru yang empuk-empuk itu efeknya luar biasa. Dan rupanya tragedi nuklir itu terulang lagi, hanya bedanya kalau dulu bom atom datangnya sekonyong-konyong tanpa diduga dan tanpa permisi seperti tai cicak yang jatuh dari langit, sedangkan kali ini mainnya lebih halus, pakai fore play dulu sebelum digasak, jadi setidaknya ada persiapan mental terlebih dulu, habis itu “ma….papa goyang yaaa…”. Gempa dulu, disusul tsunami dan kemudian krisis nuklir.
Setelah mendengar dan melihat lewat tv musibah gempa dan tsunami di jepang, jujur saja perasaan saya datar-datar saja, gak ada yang istimewa, gak ada letupan, gak ada chemistry atau apalah namanya. Dan yang lebih parah, justru ada sedikit perasaan senang riang gembira, hati kecil saya bersorak lantang “kapok kowe…rasakno….”. Dan teman-teman di facebook juga sepertinya adem ayem tentrem, tidak ada yang menulis status berduka cita, berempati atau semacamnya, tidak seperti ketika kapal mavi marmara diserbu tentara zionis (atau saya aja yang kurang rajin buka fb yaa??). Tentu ada sebabnya, mungkin karena nama negara jepang pernah dan masih menghiasi lembaran buku-buku sejarah indonesia, dan tentu dengan prestasi imperialisnya yang mengundang dendam dan kebencian. Mungkin karena dulu kita pernah mendengar kakek-kakek kita dipaksa ikut romusha, nenek-nenek kita juga dipaksa menjadi geisha. Belum lagi miyabi dan kawan-kawan seprofesinya, juga hentai yang cepat men-’dewasa’-kan generasi muda sekarang.
Sepak terjang serdadu dan seniman jepang itulah yang barangkali membuat saya susah untuk berempati terhadap negara itu ketika diterpa musibah. Bahkan meskipun saat ini jepang menjadi salah satu negara donor buat bangsa indonesia, tetap aja susah untuk menyadarkan nurani ini. Ada saatnya saya merenung setelah peristiwa itu, kenapa saya ini lebih mudah mendendam daripada memaafkan. Kenapa saya juga lebih mudah mengingat kejelekan orang lain daripada sisi positif dan perbuatan baiknya. Dan ketika saya tahu orang yang saya kurang suka itu ditimpa musibah, spontan saya menjadi jahat dan senyum-senyum sendiri sambil mengepalkan tangan, “yessss…”, seperti reaksi squidward yang semarak ketika tahu rumah nanas spongebob dilahap habis oleh nematoda sehingga memaksanya untuk hengkang dari bikini bottom (walau akhirnya gak jadi pindah, karena rumah nanasnya tumbuh lagi).

Squidward senang
Yaa…itulah saya. Musibah di jepang benar-benar membangunkan kesadaran saya, untuk kemudian ditidurkan lagi. Saya teringat hp saya yang hilang di bandara sepinggan. Sampai sekarang saya masih dongkol sama opportunis yang ‘mengamankan’ hp saya itu dan sempat mendoakan yang jelek-jelek buat dia. Padahal kalau saya pikir-pikir, saya juga sering lupa mengucapkan terima kasih ke orang yang sudah ikhlas berbuat baik kepada saya, atau bahkan kepada tuhan yang maha tahu yang telah menciptakan saya. Dan saya sendiri sebenarnya juga ngeh kalau sang pencipta mengkondisikan saya untuk dijahati itu bukan tanpa makna. Semuanya itu untuk meningkatkan kualitas pribadi saya dan membaikkan kehidupan saya (dalam kasus kehilangan hp, akhirnya saya terpaksa harus ‘membaikkan’ hp saya dengan membeli hp baru yang lebih wahhh). Memang dasar saya yang bandel, mungkin saya terlalu menikmati perasaan mendendam ini. Atau justru itu yang membuat hidup menjadi lebih berwarna?? Tapi saya terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik, meski harus dipaksa nonton spongebob 100 episode tanpa henti.